Selasa, 04 Maret 2014

Sebuah Sisi Lain



              
 
Judul      : Aku Tahu Aku Gila
Penulis   : Bahril Hidayat Lubis
Penerbit : Media Grafika Utama
Tebal      : 212 Halaman
Cetakan : Ke-I September 2010

“Aku adalah mantan orang gila yang sewaktu-waktu bisa diserang oleh penyakit  mengerikan itu.  Seragan gejala-gejala psikosis yang menciutkan nyali siapapun apabila penderita tidak mengenal dirinya sendiri “ (hal 157)

Novel Aku tahu Aku Gila (ATAG), diangkat dari kisah kehidupan Bahril melawan scizofrenia.  Penyakit yang dideritanya saat kuliah. Hingga berhasil menjadi seorang dosen.

Begitu parahnya kondisi Bahril, hingga ketika ayahnya mengutarakan niatnya untuk memberangkatkan Bakhril ke Baitullah jika sembuh, sang psikiater bersumpah, mengencingi Ka’bah jika Bahri naik haji (Naudzubillah)

Pada buku ini Bahril menceritakan apa yang dialami dan di rasakan oleh penderita scizofrenia atau yang dikenal oleh masyarakat awam sebagai gila. Awalnya  Bahril mendapat bisikan-bisikan. Juga pernah melihat bayangan-bayangan. Yang mungkin bagi orang awam bayangan-bayangan semacam itu dianggap mahluk halus. Sedang dalam ilmu kedokteran disebut halusinasi (hal 66).

Jangan membayangkan Bahril sedang sendiri, melamun, atau pikiran melayang-layang, kemudian bayangan tersebut datang. Tetapi ditengah-tengah mengajar mahasiswa pun bayangan-bayangan tersebut bisa muncul. Ketika bayangan tersebut muncul, expresi kaget, takut dsb dari  Bahril membuat mahasiswa bertanya-tanya. Saat-saat menjadi pusat perhatian seperti itulah bisikan-bisikan semakin menguat. 

Karena  Bahril sadar bahwa dirinya adalah penderita scizofrenia, dia menekan kecemasannya dengan berbagai zikir. Beberapa bisikan itu antara lain:
            “Lihatlah dia, dia gila dihadapan mahasiswanya. Ha ha ha...”
            “Sungguh manusia tidak berguna. Cocoknya dimasukin kemana, ya?”
            “Sebaiknya dia cepat-cepat dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa. Sebelum dia memukuli orang-orang disini. Memalukan. Atau?’
            “Atau apa?”
            “Ayo! Gantung saja lehermu!”
            “Ayo tunggu apa lagi?”
Ketika Bahril mulai berzikir, yang muncul  adalah,
            “Sudahlah, Tuhan tak akan memaafkanmu. Percuma kau berzikir!” (hal 71-75)

Tetapi Bahril adalah manusia beruntung, dalam kondisi penyembuhan sudah ada wanita yang melamarnya. Sebuah kebesaran yang harus diakui oleh siapapun. Dukungan istri, keluarga, dan bahkan mertua, yang akhirnya mempercepat penyembuhan Bahril  dari cengkeraman skizofrenia. Lebih-lebih setelah anaknya lahir.

Diakhir buku terdapat Resensi Penutup dari H Fuad Nashori. Memoar menyatakan Bahri telah sembuh dengan berbagai analisa, sebuah analisis yang asyik untuk disimak. Beiau adalah dosen Bahril di UII.  Salah satu  seperti ini :

Saya tidak menyangka kamu akan sembuh, karena lebih sulit menyembuhkan penderita psikotik dengan potensi kecerdasan diatas rata-rata. Potensi itu pernah kamu jadikan sebagai bentuk reaksi sikap defensif dan selalu beragumen dengan terapis. Pada akhirnya kita harus kembali kepada agama. 

Membaca buku Bahril ini, menjadikan kita mampu melihat sisi lain kemansiaan. Siapa sih yang mau mengalami depresi? Terlebih mendapat halusinasi, hingga Skizofrenia (gila). Dan bahwa tidak ada penyakit yang tidak obatnya. Kemauan keras Bahril, dan kebesaran hati keluarga, menjadikan apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Covernya menarik, meski mengambil warna pastel, tetapi tetap eye catching. Ukuran mini membuatnya mudah diselipkan. Tetapi karena ini terbitan lama, mungkin pembaca sudah punya. Jika belum, alhamdulillah, resensi ini ada manfaatnya .





           









           

           
           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar