Senin, 30 Desember 2013

Sebuah Metamorfosis


Judul buku   :  Tiga Anak Badung
Penulis        :   Boim Lebon
ISBN            :  978-602-8277-822
Penerbit       :  Indiva Media Kreasi
Tebal           :  192 halaman
Ukuran        :  19 cm
 Harga         :   Rp 25000      


Semakin lama manusia semakin sibuk. Aktivitas dan kewajiban yang menumpuk, jika tidak diimbangi dengan kegiatan meregangkan otot dan pikiran, akan mempercepat penuaan dini.

Kehadiran novel Tiga Anak Badung (TAB) seolah menyelinap ... Segala sesuatu yang berbeda, selalu menimbulkan sensasi yang “berasa”. Dalam era novel-novel advance, seperti Kite Runner yang penuh liku plus setting tajam, TAB memberikan selingan yang menyegarkan.
                 
Meski TAB bukan hal yang baru, tetapi memiliki sesuatu yang baru. Style yang digarap mirip novel remaja Lupus karya Hilman sekitar tahun 80-an. Hanya saja, jika Lupus merupakan kumpulan cerita dalam frame-freme yang dijajar, maka tulisan Boim Lebon adalah cerita yang terbingkai dalam satu frame. Perbedaan frame inilah yang membuatnya “tampil beda”.

Novel Boim Lebon ini lebih cocok disebut lebay minimalis. Meski tergolong lebay karena banyak intermeso-intermeso humor, tetapi masih memiliki cerita  yang bisa dinikmati dengan serius, atau lebay dalam koridor. Cerita yang utuh dan beralur.

TAB dibuka dengan prolog yang mengutip  berita dikoran tentang kekerasan oleh orang tua. Boim Lebon menceritakan latar belakang  yang menginspirasinya dalam pembuatan novel, tentang keprihatinan dan kerasnya keadaan. Boleh dikatakan gaya penceritaan Boim mirip juru dongeng, atau bahkan monolog humor.

Mpok Bung, yang dipanggil juga dengan  Bunga Citra Lebay, bekerja sebagai tukang cuci. Awalnya Mpok Bung adalah anak orang kaya dari luar Jawa, tetapi karena tidak disetujui orang tuanya, Mpok Bung nekat lari dan menikah di Jakarta. Sayangnya setelah sampai di Jakarta dan mempunyai tiga anak, Mpok Bung ditinggal begitu saja oleh suaminya. Tiga anak Mpok Bung itulah yang selanjutnya disebut Tiga Anak Badung.

TAB, menceritakan tentang salah langkah, yang mengalir menjadi nasib buruk, menjelma menjadi keputusasaan. Namun pada akhir cerita semua berubah menjadi keberuntungan. Dan endingnya mengharukan. Menariknya, semua disajikan dengan ungkapan ringan.

Selanjutnya, karena penat dengan kehidupan yang berbiaya tinggi, Mpok Bung membuang ketiga anaknya dengan meninggalkannya di stasiun. Mpok Bung cukup cerdik dengan bepura-pura mengajak anaknya mencari ayahnya. Bahkan Mpok Bung juga memberikan pancingan yang selanjutnya digunakan oleh anak-anaknya sebagai mata pencarian. Yaitu mengamen.

Adegan Mpok Bung membuang ketiga anaknya jauh dari kesan mengharukan, semua terasa enteng dan ringan. Tapi bukan berarti tidak berperikemanusiaan, karena Boim Lebon juga menceritakan perang batin Mpok Bung. Tentang segala kegalauannya sebagai ibu yang tidak benar. Tetapi karena kisah dramatis itu berada diawal, banyak intermeso, dan pembaca masih belum terhangatkan, maka adukan emosinya menjadi kurang terasa.

Selepas tidakan Mpok Bung membuang ketiga anaknya,  Boim Lebon meloncat ke sepuluh tahun kemudian, Boim menceritakan ketika anak-anak badung itu sudah mulai beranjak dewasa. Ketika  Mola, Rama dan Reh sudah berumur, 17,16 dan 14. Beberapa bagian diceritakan flash back dengan penuh keberuntungan. Seperti bagaimana ketiga anak badung bertemu Mas Kelik yang kemudian menampungnya. Atau bagaimana beruntungnya  ketiga anak badung, karena semua ganteng-ganteng. Rama digambarkan mirip Johnny Deep, Reh mirip Richard Gere, sedang Mola tidak dijelaskan seperti siapa. Disamping ganteng, mereka juga bersuara merdu, sehingga ketika mereka ngamen, banyak orang yang memberi uang.

Tetapi karena genre novel ini komedi, keberuntungan-keberuntungan justru “menguatkan”.  Senyum pembaca menjadi mengalir tanpa sekat-sekat. Lubang-lubang pada peralihan waktu, adegan, diisi dengan banyak intermeso. Sampai dengan bab 3,  intermeso terasa sedikit melibihi porsi. Tetapi pada Bab 4 hingga akhir, Tiga Anak Badung berhasil membuat pembaca menikmati intermeso-intermeso yang dilontarkan, hingga jika dibuat kurfa akan membentuk garis diagonal, semakin kebelakang semakin tinggi tingkat kepuasannya

Berikutnya, adalah petualangan ketiga anak badung setelah remaja. Bagaimana ketiga anak tersebut selalu dikejar-kejar oleh anak buah preman  yang bernama Mas Gundul. Dan bagaimana perjuangan mereka mencari truk tumpangan ke Jakarta. Hingga sesampai di Jakarta pun mereka masih harus berhadapan dengan komplotan pengedar Narkoba.

Meski novel humor, peran utama yang ditampilkan Boim Lebon cukup berkarakter. Mpok Bung yang suka bernyanyi, Rama yang bijak dan taktis, Reh yang tukang tidur, atau Mola yang pelupa dan nggak nyambung. Bahkan pemeran pembantu yang ditampilkan pun berkarakter. Seperti Betty yang Madura ta’ iye.

Hanya saja, untuk Mola yang memiliki sifat bolot dan pelupa kronis, terasa sedikit janggal. Bagaimana mungkin, orang normal dalam hitungan menit sudah lupa? Akan mudah diterima jika Boim Lebon menjelaskan bahwa Mola terkena sindrom amnesia, baik karena bawaan, ataupun karena kecelakaan. Misalnya seperti dalam film 50 First Date, dimana Drew Barrymore yang setiap hari lupa, karenanya, setiap hari pula Adam Sandler, yang naksir padanya harus memutar otak mencari cara untuk berkenalan. Pembaca pasti manggut-manggut dan tergelak, tanpa membuat alis berkerut.

Seperti novel humor pada umumnya, setting yang diberikan sangat minim, namun beberapa diantaranya sangat taktis, sehingga sukses mengantar pembaca berimajinasi dengan ringan.

Sesuai dengan misi melepas penat, buku ini ringan dan mengalir hingga akhir.

Pada akhir  kisah, setelah bergulat dengan pengedar narkoba, sampailah ketiga Anak Badung ke pangkuan Mpok Bung. Berbeda dengan bab saat Mpok Bung meninggalkan anak-anaknya di kereta, dimana magnet emosi terhadap pembaca kurang kuat. Detik-detik pertemuan antara TAB dengan Mpok Bung, meski sebelumnya tertawa lepas, TAB berhasil membuat pembaca terdiam dan hanyut. Bahkan menitikkan airmata. Sebuah ending yang sangat bagus dan melegakan. Hanya saja, banyak pertanyaan tersisa di akhir cerita ini. Ending masih menggantung, seolah-olah sudah disiapkan Tiga Anak Badung kedua, ketiga ataupun keempat. Dan pembaca sukses bertanya "berikutnya?"

Penampakan buku, dari font, kertas, ukuran. Semua enak dinikmati. Layak dijadikan teman perjalanan. Obat stress karena kemacetan, dan padatnya aktivitas

Penerbit Indiva melakukan langkah berani dengan menebitkan novel humor style tahun 90-an. Sebuah metamorfosis dari novel Lupus, terbukti juga mampu dinikmati ABG tahun 2000-an. Positif karakter yang ditunjukkan lewat Rama, menjadikan buku ini tidak sekedar humor. Bagaimana Tiga Anak Badung tetap hidup dan berusaha bahagia dalam keterlantaran. Atau bagaimana Mpok Bung mendapat ganjaran atas ketidakpatuhannya terhadap orang tua.

Membaca novel ini serasa melihat layar kaca. memang sudah selayaknya, karena penulis Tiga Anak Badung adalah Boim Lebon mempunyai nama asli H Sudiyanto, sekarang bersarang sebagai Head Writer Drama di RCTI oke. Boim juga pernah bekerja menjadi Script Writer drama di Indosiar. Karya-karya layar kaca juga tak perlu diragukan, diantaranya adalah Lenong Bocah di TPI dan Bocah imut (item mutlak).

6 komentar:

  1. bagus tanteh , aku sudah baca juga

    BalasHapus
  2. Ocre Le,.. kamu memang baikehh hatiee

    BalasHapus
  3. Iya Mas Boim itu lucu banget, buku2nya kocak. Reviewnya mengalir Mbk, ada beberapa salah ketik di atas. Sukses ya:)

    BalasHapus
  4. Belum baca buku ini. Paling sebal kalau buku humor itu lucunya maksa. Jadi bukannya ketawa saya malah bingung. hehehe... Tapi kalau seorang Boim Lebon udah jaminan mutu soal lucu2an deh ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama,..saya juga . Tapi derajad maksa atau enggak tiap orang juga nggak sama. Mood juga memberi pengaruh kali ya,..

      Hapus