Penulis :
Boim Lebon
ISBN :
978-602-8277-822
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 192 halaman
Ukuran : 19
cm
Harga
: Rp
25000
Semakin
lama manusia semakin sibuk. Aktivitas dan kewajiban yang menumpuk, jika
tidak diimbangi dengan kegiatan meregangkan otot dan pikiran, akan
mempercepat penuaan dini.
Kehadiran novel Tiga Anak Badung (TAB) seolah menyelinap ... Segala
sesuatu
yang berbeda, selalu menimbulkan sensasi yang “berasa”. Dalam era novel-novel advance, seperti Kite
Runner yang
penuh liku plus setting tajam, TAB memberikan selingan yang menyegarkan.
Meski TAB bukan hal yang baru, tetapi memiliki sesuatu yang baru. Style yang digarap mirip novel remaja Lupus karya Hilman
sekitar tahun 80-an. Hanya saja, jika Lupus merupakan kumpulan cerita dalam
frame-freme yang dijajar, maka tulisan Boim Lebon adalah cerita yang terbingkai
dalam satu frame. Perbedaan frame inilah yang membuatnya “tampil beda”.
TAB
dibuka dengan prolog yang mengutip berita dikoran tentang kekerasan
oleh orang tua. Boim Lebon menceritakan latar belakang yang menginspirasinya dalam pembuatan novel,
tentang keprihatinan dan kerasnya keadaan. Boleh dikatakan gaya penceritaan
Boim mirip juru dongeng, atau bahkan monolog humor.
TAB,
menceritakan tentang salah langkah, yang mengalir menjadi nasib buruk, menjelma
menjadi keputusasaan. Namun pada akhir cerita semua berubah menjadi keberuntungan.
Dan endingnya mengharukan. Menariknya, semua disajikan dengan ungkapan
ringan.
Selanjutnya,
karena penat dengan kehidupan yang berbiaya tinggi, Mpok Bung membuang ketiga
anaknya dengan meninggalkannya di stasiun. Mpok Bung cukup cerdik dengan
bepura-pura mengajak anaknya mencari ayahnya. Bahkan Mpok Bung juga memberikan
pancingan yang selanjutnya digunakan oleh anak-anaknya sebagai mata pencarian.
Yaitu mengamen.
Adegan
Mpok Bung membuang ketiga anaknya jauh dari kesan mengharukan, semua terasa
enteng dan ringan. Tapi bukan berarti tidak berperikemanusiaan, karena Boim
Lebon juga menceritakan perang batin Mpok Bung. Tentang segala kegalauannya sebagai ibu yang tidak
benar. Tetapi karena kisah dramatis itu berada diawal, banyak intermeso, dan
pembaca masih belum terhangatkan, maka adukan emosinya menjadi kurang terasa.
Berikutnya,
adalah petualangan ketiga anak badung setelah remaja. Bagaimana ketiga anak tersebut selalu dikejar-kejar oleh anak buah preman
yang bernama Mas Gundul. Dan bagaimana
perjuangan mereka mencari truk tumpangan ke Jakarta. Hingga sesampai di Jakarta
pun mereka masih harus berhadapan dengan komplotan pengedar Narkoba.
Meski
novel humor, peran utama yang ditampilkan Boim Lebon cukup berkarakter. Mpok
Bung yang suka bernyanyi, Rama yang bijak dan taktis, Reh yang tukang tidur,
atau Mola yang pelupa dan nggak nyambung. Bahkan pemeran pembantu yang
ditampilkan pun berkarakter. Seperti Betty yang Madura ta’ iye.
Hanya
saja,
untuk Mola yang memiliki sifat bolot dan pelupa kronis, terasa sedikit
janggal.
Bagaimana mungkin, orang normal dalam hitungan menit sudah lupa? Akan
mudah diterima jika Boim Lebon menjelaskan bahwa Mola terkena sindrom
amnesia, baik
karena bawaan, ataupun karena kecelakaan. Misalnya seperti dalam film 50
First Date, dimana Drew
Barrymore yang setiap hari lupa, karenanya, setiap hari pula Adam
Sandler, yang naksir padanya harus memutar otak mencari cara untuk
berkenalan. Pembaca pasti manggut-manggut dan tergelak,
tanpa membuat alis berkerut.
Seperti novel humor pada umumnya, setting yang diberikan sangat minim, namun beberapa
diantaranya sangat taktis, sehingga sukses mengantar pembaca berimajinasi dengan
ringan.
Sesuai dengan misi melepas penat, buku ini ringan dan mengalir hingga akhir.
Sesuai dengan misi melepas penat, buku ini ringan dan mengalir hingga akhir.
Pada
akhir kisah, setelah bergulat
dengan
pengedar narkoba, sampailah ketiga Anak Badung ke pangkuan Mpok Bung.
Berbeda
dengan bab saat Mpok Bung meninggalkan anak-anaknya di kereta, dimana
magnet
emosi terhadap pembaca kurang kuat. Detik-detik pertemuan antara TAB
dengan Mpok Bung, meski sebelumnya tertawa lepas, TAB berhasil
membuat pembaca
terdiam dan hanyut. Bahkan menitikkan airmata. Sebuah ending yang sangat
bagus
dan melegakan. Hanya saja, banyak pertanyaan tersisa di akhir cerita
ini.
Ending masih menggantung, seolah-olah sudah disiapkan Tiga Anak Badung
kedua,
ketiga ataupun keempat. Dan pembaca sukses bertanya "berikutnya?"
Penampakan buku, dari font,
kertas, ukuran. Semua enak dinikmati. Layak dijadikan teman perjalanan. Obat stress karena kemacetan, dan padatnya
aktivitas
bagus tanteh , aku sudah baca juga
BalasHapusOcre Le,.. kamu memang baikehh hatiee
BalasHapusIya Mas Boim itu lucu banget, buku2nya kocak. Reviewnya mengalir Mbk, ada beberapa salah ketik di atas. Sukses ya:)
BalasHapusMakasih ya Naqi
HapusBelum baca buku ini. Paling sebal kalau buku humor itu lucunya maksa. Jadi bukannya ketawa saya malah bingung. hehehe... Tapi kalau seorang Boim Lebon udah jaminan mutu soal lucu2an deh ya :)
BalasHapussama,..saya juga . Tapi derajad maksa atau enggak tiap orang juga nggak sama. Mood juga memberi pengaruh kali ya,..
Hapus