Judul buku : Cinta yang Membawaku Pulang
Penulis : Agung F Aziz
ISBN : 978-602-8277-62-4
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tebal : 295 halaman/19cm
Harga : Rp 42000
Sebuah bencana akibat perang
saudara, sering terasa lebih berdarah. Sebagaimana konflik Poso, perang
Sampit, maupun konflik Aceh. Jika
dalam perang
kemerdekaan, musuh adalah satu dan pasti. Tetapi dalam perang
saudara, bisa jadi ayah, anak, ataupun menantu menjadi lawan.
Cinta yang Membawaku
Pulang adalah novel yang mengangkat terberainya sebuah keluarga
akibat perang saudara. Ketika Afganistan menang melawan Rusia,
perebutan kekuasaan antar kelompok pun terjadi. Perang saudara, tak
terelakkan. Meski perang telah berakhir, namun sisa-sisa dendamnya, masih
memiliki kekuatan memporak-porandakan masa depan. Impian-impian yang
dibangun untuk menyatukan tangan dan bahu membahu dalam sebuah
keluarga. Begitu saja dihempaskan menjadi serpihan-serpihan hampa.
Ketika
Amerika menduduki Afganistan dan Taliban jatuh, ayah Shabana
menyeberang ke Pakistan bersama Maryam Shekiba (adik Shabana).
Shabana ditinggal bersama ibunya, dan dijanjikan akan dijemput
kembali. Namun sang ibu sakit keras di pengungsian dan meninggal.
Dalam
pengungsian, Shabana menikah dengan Faisullah dan mempunyai anak
bernama Sakhi. Saat Sakhi berusia lima bulan, mereka terpisah.
Faisullah dan Sakhi dengan bantuan PBB berhasil mencapai Pakistan.
Sedang Shabana tertinggal di Afganistan bersama tetangganya,
Farrukhaz dan Yassir.
Waktu
berlalu, 20 tahun semenjak Shabana berpisah dari ayahnya. Farrukhaz
menunaikan ibadah haji dan bertemu dengan ayah dan bibi Shabana.
Farrukhaz pun menolong Shabana menjualkan tanah warisan ayahnya.
Dengan hasil uang dari penjualannya, Shabana berangkat menuju Makkah.
Sejuta impian untuk bergabung kembali dengan keluarganya menari-nari.
Novel
ini mulai berderap atas kerinduan Shabana pada sebuah keluarga yang utuh.
Ditemani keluarga bibinya, Shabana mencari jejak sang ayah. Kejutan demi
kejutan keluar masuk, antara bahagia dan duka. Harapan yang
meloncat-loncat, tiba-tiba saja menjadi sebuah teka-teki dalam
berbagai sikap yang orang dijumpainya.
Dalam
novel ini Agung F Aziz memberikan contoh, bagaimana seorang wanita
seharusnya bersikap dalam menghadapi sebuah masalah. Keringan
tanganan Shabana, mempertemukannya dengan anak laki-lakinya.
Demikian juga saat melemparkan jumrah ula Shabana melihat
Faisullah, suaminya. Satu demi satu pintu terbuka, dan impiannya
benar-benar terwujud. Berkumpul kembali dengan saudara-saudaranya.
Bahkan adik satu-satunya yang dulu ikut mengungsi juga ditemukannya.
Namun
siapa menyangka, ketika cintanya kepada sang suami kembali bertunas,
takdir membawanya menghadiri pernikahan sang suami. Demikian juga
pencarian demi pencarian, membawa Shabana betualang dengan hukum
Arab. Bagaimana sebuah hukum gantung berjalan, bagaimana diyat harus
dilakukan, termasuk penggalangan dana. Berbagai pergulatan, dan
lika-liku kehidupan, menjadikan buku ini magnet yang susah dilepaskan
dari tangan. Terutama ketika masuk pada babak terakhir, saat semua
bergerak dengan cepat.
Ketika
semua pencariannya berakhir. Sabana kembali ke titik nadir, dimana
setiap manusia datang tanpa baju, dan berpulang tanpa teman, kecuali
iman. Sebuah titik yang mendatangkan cinta diatas segala cinta. Diksi
indah dituliskan oleh Agung F Aziz, pada halaman 286, “Perpisahanku
dengan Baba dan Sakhi membuatku kecewa. Juga perpisahanku dengan
orang yang aku cintai, Faisullah. Tapi, berpisah dengan Tanah Suci
ini membuat hatiku lenyap.”
Secara
keseluruhan, tulisan Agung F Aziz mengalir dan enak dibaca. Hanya
saja penggunaan banyak nama asing, sedikit mengurangi kenyamanan.
Terutama penggunaan nama perempuan yang terdengar seperti laki-laki
bagi telinga Indonesia, seperti Ahmas, Farrukhzad, Saghar Hamraaz.
Pada
beberapa bagian, Agung sukses menambah pengetahuan pembaca dengan penjelasan singkat atas sebuah panggilan. Seperti pada
halaman 35, tentang Haris, Orang Arab memanggil tukang sapu dengan
sebutan itu. Atau pada halaman 34, Abu Nahal adalah Zaher
Hashemi. Orang Arab biasa memanggil dengan menisbatkan anak
tertuanya. Abu Nahal berarti ayahnya Gulnaz Nahal.
Demikian juga dengan panggilan Ghatamah Khoor, pada halaman
193 tidak ada yang memanggil dengan sebutan itu (Ghatamah Khoor)
melainkan seorang adik kepada kakaknya.
Namun sayang, pada beberapa bagian yang lain, Agung abai memberikan
penjelasan atas panggilan-panggilan ringan, seperti, Bachem,
Khanum, Kaka, Khali, Plaar, Amma jee, Ammi dll. Padahal
panggilan-panggilan tersebut sangat berpengaruh. Mengingat banyaknya
jenis yang disuguhkan.
Agung
berhasil membangun karakter Shabana sebagai sebagai perempuan yang
kuat dan tabah. Demikian juga dengan karakter Harris
Abdurrahman, dan Haris Pakistan. Tetapi, untuk karakter
pendukung yang lain, terasa sedikit flat.
Meskipun
Agung
F Azis adalah warga negara Indonesia asli yang tinggal di Salatiga,
kedekatan dengan pembaca Indonesia masih terasa sekatnya. Ketiadaan
tokoh
Indonesia dalam novel ini, merentangkan jarak, membuat pembaca seolah
mendapat suguhan novel terjemahan. Satu-satunya nama Indonesia, hanya
ditempatkan sebagai obyek, itu pun dalam sebuah wacana sebagai
korban (Wardah) halaman 73. Tentu akan lain jika salah satu pemeran
pembantu (misalnya Haris Abdurrahman) dimunculkan sebagai
warga negara Indonesia. Akan muncul nafas yang menyatukan antara novel
dan pembaca.
Karya Agung F Aziz, mempunyai potensi mendunia, tema yang diusung adalah
fakta yang menjadi keprihatinan penduduk dunia. Kekuatan tema Kite Runner
dimiliki Novel ini. Sayang, penggarapan variant pelengkap kurang
dimaksimalkan. Jika Kite Runner memiliki Pesta Layang-layang, karya
Agung F Aziz juga memiliki Bukhasi (memperebutkan daging hewan buruan
dengan mengendarai kuda). Bedanya Agung hanya menempatkan Bukhasi
sebagai tontonan, tokoh hanya menonton, tidak terlibat dengan pesta
itu sendiri. Tentu lebih hidup jika Bukhasi bersenyawa dalam cerita.
Sehingga detak Shabana sebagai warga negara Afganistan akan terasa
lebih menggigit.
Ukuran,
dan font buku terasa nyaman, hanya saja cover buku terlalu wanita
untuk sebuah cerita perang dan drama keluarga yang tragis. Aroma
Timur Tengahnya kurang tercium. Pilihan huruf huruf pada judul juga
kurang tertangkap mata. Namun secara keseluruhan buku ini berkelas.
Pada
akhirnya Novel Cinta yang Membawaku pulang, berhasil mengingatkan
pembaca atas luka-luka akibat perang. Dan sebesar apapun fungsi
perang, selalu ada pihak yang terluka.
Lebih suka judul yang baru ketimbang judul sebelumnya. Tapi katanya novel ini lebih banyak setting Mekkah nya ya mbak ketimbang setting Afghanistannya?
BalasHapusIya, betul. Judul yang baru mencakup seluruh isi. Kalau judul lama di pucuknya aja. Sama-sama bagus sih. Sensenya aja yang mungkin rada beda. Judul baru lebih nampak "kerinduanya" (centra ceritanya).
BalasHapusSaya sih pinginnya ada judul lain yg lebih singkat tapi tetep nyambung sama isi novelnya..
BalasHapusPerasaan nyambung Say, Shabana akhirnya lebih memilih yang memberikan "cinta" daripada yang sedarah tetapi sudah mempunyai kehidupan sendiri. Kalau aku nagkepnya sih keluarga nya kurang welcome saat suami Shabana ada (kecuali bibinya). Jadi Saat ke Mekah bisa disebut pulang. Saat ke Afgan juga pulang... tapi emang penangkapan bisa macem-macem ya.. Makasih Mba Linda komentnya
Hapus