Kamis, 14 November 2013
A Thausand Splendid Suns
Judul : A Thausand Splendid Suns
Penulis : Khaled Hosseini
Penerbit : Qanita
Tebal : 507 halaman
“ Siapa pun takkan bisa menghitung bulan-bulan yang berpendar di atas atap, ataupun seribu mentari surga yang bersembunyi dibalik dinding “
Meskipun tebal, novel ini berhasil menyihir kita untuk menikmati hingga remah-remahnya.
Diceritakan seorang anak (Maryam)yang lahir dari istri tidak syah (Nana). Sedang ayah Maryam (Jalil) telah mempunyai tiga istri.
Mariam dan ibunya (Nana) hidup dalam pengasingan. Diceritakan dalam novel ini Mariam hanya mengalami kebahagiaan hingga umur 15 tahun (saat berada di pengasingan). Kebahagiaan dalam arti kebebasan & bukan materi.
Mariam merasa, meski ayahnya jarang mengunjunginya, tetapi ayah mencintainya. Dan tidak mempercayai kata-kata ibunya.
Apa yang dikatakan Nana?
“Bagi Jalil dan ketiga istriya aku adalah gulma. Kau juga! Bahkan saat kau belum dilahirkan!”
“Apa artinya Gulma?” tanya Nana
“Rumput Liar! Sesuatu untuk dicabut dan dibuang!”
Sayang Mariam tidak percaya dengan ibunya, dia berpikir, “Nana ketakutan, karena bisa jadi aku memiliki kebahagiaan yang tidak Nana miliki”...
Nasib memburuk, bermula ketika Mariam berusaha menemui ayahnya. Nekat pergi melarikan diri dari rumah. Kehidupan ayahnya yang sangat mewah bersama para istri dan anaknya, membuatnya sadar, bahwa dia memang tidak diharapkan. Dan bahwa satu-satunya yang dimiliki dan menyayanginya adalah Nana.
Di rumah ayahnya begitu saja Mariam dijodohkan, dan ketika ingin kembali ke rumahnya, Nana telah dikuburkan...
Selanjutnya? Cerita ini masih panjang, dan meloncat dari kebahagiaan yang sederhana, menjadi tragedi, hal-hal tragis terus menerus beruntun, datang silih berganti. Hingga pada akhirnya Mariam harus berurusan dengan pengadilan Taliban.
Ending novel ini sangat menarik, meskipun tragis, tetapi menyiratkan pesan kemanusiaan yang sangat besar.
Bahwa setiap orang, siapapun dia, akan berbahagia ketika bermanfaat bagi orang lain. Demikian pula bagi orang yang hampir keseluruhan hidupnya dilanda duka.
Khalled berhasil memberikan diskiripsi yang sangat “kuat” tanpa membuat pembaca bosan, apalagi menggerakkan tangan untuk meloncat-loncat. Terasa sayang untuk melewatkan bagian-bagiannya, karena banyak kejutan-kejutan yang datang tumpuk menumpuk.
Qanita juga berhasil menerjemahkannya dengan bagus, hingga tidak mengurangi bobot Novel ini. Jika pembaca berfikir, tentunya bukan mengenai hubungan kata yang tidak “klik”, melainkan mereka-reka pancingan-pacingan cerita yang memang telah dijeratkan oleh Khalled.
Sayang, Khalled maupun penerbit acuh dengan keberadaan glosarium. Terpaksa pembaca hanya menebak saja arti kata-kata asing yang dipakai, seperti dehati, lagaan dan masih banyak lagi.
Namun demikian, Karakter yang dipakai sangat kuat. Setting tak jauh dari Kite Runner. Termasuk, Burqa, perlakuan Taliban, budaya dan pernak-perniknya.
Saya sempat berpikir, benarkah Taliban seperti itu, apakah pasukan Hekmatyar seganas yang digambarkan. Namun fiksi adalah opini dan kebebasan... jadi pengarang bebas mengungkapkan opininya. Sekali lagi fiksi is fiksi..
Finally. I Realy like it!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar