Judul : A Women Among Warlord
Penulis : Derrick O’Keefe & Malalai
Joya
Penerbit : Qonita
Halaman : 437+vii
Cetakan I, Februari
2011
Sebentar lagi Amerika merayakan kemerdekaan,
dan dibelahan dunia manapun, sebuah kemerdekaan memerlukan pemicu, kekuatan
yang meletupkan emosi, ledakan eksekusi, hingga bermuara pada realitas menjadi
sebuah justifikasi.
Tak terkecuali Amerika, sebagai Negara Adidaya.
Penetapan “Tea Act” (Pajak Teh) pada tahun 1965 oleh Britania Raya memicu emosi
rakyat, munculah “The Boston Tea Party” perlawanan oleh Sons of Liberty yang
diketuai oleh Samual Adams pada tahun 1973. Ledakan emosi tersebut
mempersatukan 13 koloni yang melahirkan
kemerdekaan USA dalam “Declaration of Independence” 4 Juli 1976 di
Philadelphia.
Buku
ini bukan tentang Amerika, tetapi sebuah kebebasan yang belum tuntas. Dimana
berbagai skandal yang dimainkan AS dalam
mengembangkan mentalitas fundamentalis. Baik Skandal Buku Pelajaran Jihad yang
dilangsir oleh Washington post. Juga berbagai skandal lain yang akhirnya
menjadi berbalik.
Derrick
O’Keefe yang juga penulis Empire Knight, tidak hanya hanya mengupas perkembangan
politik Afganistan secara global, tercover pula berbagai sisi individual seperti
hilangnya harapan, kekerasan, dan tempaan dunia perang yang tak kenal kompromi.
Dan bagaimana bertahan hidup mencoba untuk bermanfaat pada medan yang bergolak.
Buku dibuka
dengan Sejarah Afganistan, dimana euporia kebebasan dari Rusia hanya berlangsung
sekejap, dilanjutkan perang saudara antar
warlord. Serta kehadiran Loya
Jirga (Majelis Permusyawaratan) yang mandul. Beserta sifat-sifat
domestik khas Arab Jahiliyah, penuh kekerasan, kental kesukuan, bahkan pelecehan
perempuan, yang sesungguhnya telah diberangus ketika Rosul tercinta Muhammad
datang, kini muncul kembali, dalam dimensi pembenaran agama.
Perjuangan Malalai yang juga telah difilmkan
dalam Enemies of happiness ini berawal dari tersisihnya “gender”. Ketertinggalan
pendidikan perempuan, dimana kehadiran perempuan sebagai persinggahan pertama
untuk sebuah SDM dipandang sebelah mata. Bagaimana sebuah benih bisa tumbuh
subur, jika ladang tidak boleh dipupuk dan disiram?
Dan Budaya Arab membungkam serta melarang total aktivitas pendidikan
untuk perempuan. tempat-tempat
pendidikan dibakar, dan Malalai Joya terus bergerilya mengajarkan berbagai
pendidikan dasar untuk kaum wanita. Dan taruhannya adalah nyawa! Tidak hanya
nyawa Malalai, tetapi juga nyawa pemberi tempat dan yang mendapatkan
pendidikan.
Buku ini menggetarkan, bagaimana
wanita kecil menggenakan burka, berumur 15 tahun kucing-kucingan dengan
pemerintah Taliban yang terkenal militan.
Serasa menampar wanita-wanita lebih dewasa dengan sebuah
pertanyaan,..apa yang sudah kau perbuat?
Terpetik
juga bagaimana Malalai menghadapi keputusasaan, dan merajut harapan dalam
penindasan, hingga dukungan dan kerjasama muncul tanpa skenario, full spontanitas sebagai wujud dari solidaritas. Hingga tangan
Tuhan berjalan dari satu episode ke episode berikutnya.
Buku ini mengajarkan pula, taktis
berhitung umur dan kesempatan memberi, Malalai merelakan kesempatan untuk
bersekolah lebih tinggi. Lebih memilih dengan pendidikan setaraf SMU, namun
terus berbuat dan berbuat. She is the women
who struggle all her lives.
Namun
menularkan semangat perempuan untuk belajar demi kepentingan sendiri tidaklah
mudah, dimana nyali membuka buku telah pupus telah tertodong senapan. Naluri
kebebasan telah hancur lebur ditikam. Tapi, siapa lagi yang mau perduli?
“Mengapa
kita tidak berasal dari Palestina, yang anak-anaknya saja begitu pemberani?”
Dan
sang Ayah berhasil menjawab pertanyaan ini dengan bersahaja.
Mengharukan! Saat rumah mereka digeledah antek Rusia. Kakek
Malalai justru berhasil mengguggah rasa
patriotisme dan harga diri sang penjilat (penggeledah). Hingga akhirnya mereka
malu, meneteskan air mata kemudian pergi.
Demikian juga saat kakek Malalai
menghadapi kematian anaknya dalam sebuah perjamuan dirumahnya. Sang kakek mampu
emosinya dengan sempurna,..sehingga makanan yang terhidang tidak mubazir
Buah, tak kan jatuh jauh dari pohonnya. Pejuang melahirkan pejuang. Wajarlah banyak
sekali tauladan mengharukan dalam buku ini, hingga film Enemies of Happines mendapat 2
penghargaan bergengsi sekaligus, Word Cinema Jury di Sundace Film Festival dan
International Human Right Film Award di Berlin International Film Festival.
Membaca
buku ini, serasa menguak secarik kertas awal, dalam tumpukan perjalanan panjang demokrasi. Sisi kemanusiaan
personal yang telah lama dilupakan, estetika solidaritas yang begitu saja
muncul dari sebuah penindasan. Keluhuran-keluhuran yang selalu dimiliki setiap
pejuang. ‘pun dalam negara yang sudah merdeka.
Terakhir,
usai membaca buku ini saya bertanya pada diri sendiri, “Apakah sebuah Indenpence total itu benar-benar ada?
Dan pasti lebih baik?”
(Aisyah Fad)
(Aisyah Fad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar