Jumat, 14 September 2012

INDENPENDENCE , ..ADAKAH ?


Judul                : A Women Among Warlord
Penulis             : Derrick O’Keefe & Malalai Joya
Penerbit           : Qonita
Halaman          : 437+vii
Cetakan I, Februari 2011

             Sebentar lagi Amerika merayakan kemerdekaan, dan dibelahan dunia manapun, sebuah kemerdekaan memerlukan pemicu, kekuatan yang meletupkan emosi, ledakan eksekusi, hingga bermuara pada realitas menjadi sebuah justifikasi.

 Tak terkecuali Amerika, sebagai Negara Adidaya. Penetapan “Tea Act” (Pajak Teh) pada tahun 1965 oleh Britania Raya memicu emosi rakyat, munculah “The Boston Tea Party” perlawanan oleh Sons of Liberty yang diketuai oleh Samual Adams pada tahun 1973. Ledakan emosi tersebut mempersatukan 13 koloni  yang melahirkan kemerdekaan USA dalam “Declaration of Independence” 4 Juli 1976 di Philadelphia. 

Buku ini bukan tentang Amerika, tetapi sebuah kebebasan yang belum tuntas. Dimana berbagai skandal yang dimainkan AS  dalam mengembangkan mentalitas fundamentalis. Baik Skandal Buku Pelajaran Jihad yang dilangsir oleh Washington post. Juga berbagai skandal lain yang akhirnya menjadi berbalik. 

Derrick O’Keefe yang juga penulis Empire Knight,  tidak hanya hanya mengupas perkembangan politik Afganistan secara global, tercover pula berbagai sisi individual seperti hilangnya harapan, kekerasan, dan tempaan dunia perang yang tak kenal kompromi. Dan bagaimana bertahan hidup mencoba untuk bermanfaat pada medan yang bergolak. 

  Buku dibuka dengan Sejarah Afganistan, dimana euporia kebebasan dari Rusia hanya berlangsung sekejap, dilanjutkan perang saudara antar  warlord. Serta kehadiran Loya Jirga (Majelis Permusyawaratan) yang mandul. Beserta sifat-sifat domestik khas Arab Jahiliyah, penuh kekerasan, kental kesukuan, bahkan pelecehan perempuan, yang sesungguhnya telah diberangus ketika Rosul tercinta Muhammad datang, kini muncul kembali, dalam dimensi pembenaran agama. 

             Perjuangan Malalai yang juga telah difilmkan dalam Enemies of happiness ini  berawal dari tersisihnya “gender”. Ketertinggalan pendidikan perempuan, dimana kehadiran perempuan sebagai persinggahan pertama untuk sebuah SDM dipandang sebelah mata. Bagaimana sebuah benih bisa tumbuh subur, jika ladang tidak boleh dipupuk dan disiram?  

            Dan Budaya Arab  membungkam serta melarang total aktivitas pendidikan untuk perempuan.  tempat-tempat pendidikan dibakar, dan Malalai Joya terus bergerilya mengajarkan berbagai pendidikan dasar untuk kaum wanita. Dan taruhannya adalah nyawa! Tidak hanya nyawa Malalai, tetapi juga nyawa pemberi tempat dan yang mendapatkan pendidikan. 

            Buku ini menggetarkan, bagaimana wanita kecil menggenakan burka, berumur 15 tahun kucing-kucingan dengan pemerintah Taliban yang terkenal militan.  Serasa menampar wanita-wanita lebih dewasa dengan sebuah pertanyaan,..apa yang sudah kau perbuat?

Terpetik juga bagaimana Malalai menghadapi keputusasaan, dan merajut harapan dalam penindasan, hingga dukungan dan kerjasama muncul tanpa skenario, full spontanitas  sebagai wujud dari solidaritas. Hingga tangan Tuhan berjalan dari satu episode ke episode berikutnya.  

            Buku ini mengajarkan pula, taktis berhitung umur dan kesempatan memberi, Malalai merelakan kesempatan untuk bersekolah lebih tinggi. Lebih memilih dengan pendidikan setaraf SMU, namun terus berbuat dan berbuat. She is the women who struggle all her lives

Namun menularkan semangat perempuan untuk belajar demi kepentingan sendiri tidaklah mudah, dimana nyali membuka buku telah pupus telah tertodong senapan. Naluri kebebasan telah hancur lebur ditikam. Tapi, siapa lagi yang mau perduli?   
“Mengapa kita tidak berasal dari Palestina, yang anak-anaknya saja begitu pemberani?”
Dan sang Ayah berhasil menjawab pertanyaan ini dengan bersahaja. 

            Mengharukan!  Saat rumah mereka digeledah antek Rusia. Kakek Malalai  justru berhasil mengguggah rasa patriotisme dan harga diri sang penjilat (penggeledah). Hingga akhirnya mereka malu, meneteskan air mata kemudian pergi.  

            Demikian juga saat kakek Malalai menghadapi kematian anaknya dalam sebuah perjamuan dirumahnya. Sang kakek mampu emosinya dengan sempurna,..sehingga makanan yang terhidang tidak mubazir
             Buah, tak kan jatuh jauh dari pohonnya.  Pejuang melahirkan pejuang. Wajarlah banyak sekali tauladan mengharukan dalam buku ini, hingga  film Enemies of Happines mendapat 2 penghargaan bergengsi sekaligus, Word Cinema Jury di Sundace Film Festival dan International Human Right Film Award di Berlin International Film Festival. 

Membaca buku ini, serasa menguak secarik kertas awal, dalam tumpukan  perjalanan panjang demokrasi. Sisi kemanusiaan personal yang telah lama dilupakan, estetika solidaritas yang begitu saja muncul dari sebuah penindasan. Keluhuran-keluhuran yang selalu dimiliki setiap pejuang. ‘pun dalam negara yang sudah merdeka.

Terakhir, usai membaca buku ini saya bertanya pada diri sendiri, “Apakah sebuah Indenpence total itu benar-benar ada? Dan pasti lebih baik?”  
 (Aisyah Fad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar